EBEG
Ebeg merupakan
bentuk kesenian tari daerah Banyumas yang menggunakan boneka kuda yang terbuat dari
anyaman bambu
dan kepalanya diberi ijuk sebagai rambut. Tarian Ebeg di daerah
Banyumas menggambarkan prajurit perang yang sedang menunggang kuda. Gerak tari yang
menggambarkan kegagahan diperagakan oleh pemain Ebeg.
Diperkirakan kesenian
Ebeg ini sudah ada sejak zaman purba tepatnya ketika manusia mulai menganut
aliran kepercayaan animisme dan dinamisme. Salah satu bukti yang menguatkan
Ebeg dalam jajaran kesenian tua adalah adanya bentuk-bentuk in trance (kesurupan) atau wuru. Bentuk-bentuk seperti ini
merupakan ciri dari kesenian yang terlahir pada zaman animisme dan dinamisme.
Selain itu Ebeg dianggap sebagai
seni budaya yang benar-benar asli dari Jawa Banyumasan mengingat didalamnya
sama sekali tidak ada pengaruh dari budaya lain. Berbeda dengan Wayang yang
merupakan apresiasi budaya Hindu India dengan berbagai tokoh-tokohnya. Ebeg
sama sekali tidak menceritakan tokoh tertentu dan tidak terpengaruhi agama
tertentu, baik Hindu maupun Islam. Bahkan dalam lagu-lagunya justru banyak
menceritakan tentang kehidupan masyarakat tradisional, terkadang berisi pantun,
wejangan hidup dan menceritakan tentang kesenian Ebeg itu sendiri. Lagu yang
dinyanyikan dalam pertunjukan Ebeg hampir keseluruhan menggunakan bahasa Jawa
Banyumasan atau biasa disebut Ngapak lengkap dengan logat khasnya. Jarang ada
lagu Ebeg yang menggunakan lirik bahasa Jawa Mataraman dan bahasa selain
Banyumasan. Beberapa contoh lagu-lagu dalam Ebeg yang sering dinyanyikan adalah
Sekar Gadung, Eling-Eling, Ricik-Ricik Banyumasan, Tole-Tole, Waru Doyong, Ana
Maning Modele Wong Purbalingga dan lain-lain.
Atraksi
Barongan Ebeg, salah satu karakter
topeng macan sebagai pendukung pementasan seni ebeg di pasar Kroya. Mungkin masih
berkaitan erat dengan barongsai, singo barong dan leak.
Di dalam suatu sajian Ebeg
akan melalui satu adegan yang unik yang biasanya menjadi acara pamungkas dalam
pertunjukan Ebeg. Atraksi tersebut sebagaimana dikenal dalam bahasa Banyumasan
dengan istilah Babak Janturan. Pemain akan "Mendem" atau
"Wuru"(kesurupan dalam Bahasa
Banyumasan dan mulai melakukan atraksi-atraksi unik. Bentuk atraksi
tersebut seperti halnya: makan Beling
atau pecahan kaca, makan dedaunan yang belum matang, makan daging ayam yang
masih hidup, berlagak seperti monyet, ular, dan lain-lain. Atraksi in trance
ini hanya dimainkan oleh pemain yang memiliki "indang" atau
"pembantu". Masing-masing pemain memiliki varian indang yang berbeda.
Di antaranya indang kethek, yang mengantarkan pemain pada kondisi in trance
meniru perilaku monyet. Indang jaran, indang mayid, indang macan dan lain-lain.
Grup Ebeg
Topeng Cepet penthul
Dalam sebuah grup Ebeg
setidaknya ada cukup banyak pemain, terutama untuk penunggang kuda lumping.
Selain itu dalam sebuah pertunjukan Ebeg ada satu barongan, yakni sejenis
topeng yang menggambarkan wajah macan (Harimau Jawa) dan memiliki kain panjang
ke belakang sebagai gambaran tubuhnya. Barongan seperti Barongsai dalam budaya
Tiongkok karena mulutnya bisa menganga. Hanya saja Barongan sering di cat
dengan warna gelap.
Selain kelompok penunggang
kuda lumping dan Barongan, ada dua pemain yang menggunakan topeng bernama Penthul dan Tembem. Dalam masyarakat kedua pemain yang menggunakan topeng
ini dikenal dengan nama Cepet.
Penthul adalah topeng yang memiliki hidung panjang dan biasanya berwarna putih.
Sedangkan Tembem memiliki wajah lebih menyeramkan dan berwarna hitam.
Alat musik
Di Banyumas, biasanya ebeg
ditampilkan dengan iringan musik calung banyumasan atau gamelan banyumasan.
Nayaga atau pengiring sudah menyatu dengan para penarinya. Awalnya memang
pertunjukan Ebeg biasanya diiringi dengan alat musik yang disebut Bendhe. Alat musik ini memiliki ciri
fisik seperti gong akan tetapi berukuran lebih kecil terbuat dari logam.
Kemudian peralatan musik lain adalah Gendhing Banyumasan pengiring seperti
kendang, saron, kenong, gong dan terompet.
Kesurupan
Salah satu kewajiban dalam
pementasan Ebeg adalah ketersediaan sesaji atau menyan. Sesaji digunakan untuk
persembahan kepada para arwah maupun penguasa makhluk halus disekitar agar mau
mendukung pementasan. Efeknya para pemain ebeg akan mengalami trans atau
kerasukan yang dalam bahasa Banyumas disebut mendem karena dirasuki makhluk
halus. Disaat inilah para pemain ebeg biasa memakan berbagai benda yang tidak
lazim dimakan seperti pecahan kaca (beling), bunga-bunga sesaji, mengupas
kelapa dengan gigi, makan padi dari tangkainya, memakan dhedek (katul), bara
api, kuning telur dan lain-lain. Keadaan mendem ini menunjukkan bahwa pemain
ebeg sedang menunjukan bahwa dirinya adalah Satria yang kuat. Pada akhir laga,
pemain yang kerasukan akan disembuhkan oleh pemimpin grup Ebeg yang biasanya
adalah seorang tetua adat dan disebut dengan istilah Penimbul.
Perlu diketahui bahwa tidak
hanya pemain Ebeg saja yang bisa kesurupan. Sering kali para penonton juga ikut
mendem sehingga semakin memeriahkan pementasan Ebeg. Pada saat pemain dan
beberapa pemonton sudah kesurupan, pagelaran menjadi sedikit lebih kacau dan
brutal. Namun justru inilah yang menjadi ciri khas Ebeg Banyumasan dibandingkan
seni kuda lumping dari daerah lain. Terkadang orang yang kesurupan menari di
depan pemain musik dan meminta dimainkan musik yang bagus. Jika musik berhenti
maka pemain akan berhenti menari.
Namun tidak semua
pertunjukan Ebeg benar-benar terjadi kesurupan, beberapa Kelompok Ebeg ada yang
hanya berpura-pura kesurupan atau Akting seolah-olah mereka sedang kesurupan
agar tampak heboh.
Janturan
Janturan merupakan pertunjukan pamungkas dalam
suatu pertunjukan Ebeg dimana para penari akan kesurupan sehingga tingkah polah
mereka seperti Bigar (lepas
kendali). Pada Babak ini penari akan melakukan atraksi yang bisa dibilang
ekstrim seperti makan bunga, padi, melompat ke atas Palang (pijakan bambu yang biasanya ada pada Ebeg di Wilayah Tambak),
atau memakan ayam hidup-hidup. Dalam Janturan tidak hanya penari saja yang
kesurupan, penonton juga bisa ikut kesurupan, biasanya akibat ditubruk oleh
penari yang sedang kesurupan atau memang sengaja kesurupan karena memiliki
Indhang sendiri. Hal tersebut sah-sah saja selama Kelompok Ebeg yang
bersangkutan memperbolehkan penonton untuk berpartisipasi, karena tiap Kelompok
Ebeg memiliki regulasi yang berbeda-beda.
Indhanger
Salah seorang indanger dalam pementasan
Ebeg Banyumasan.
Indhanger adalah istilah yang digunakan oleh
masyarakat Tambak terutama para remaja untuk menyebut
penonton yang berpartisipasi dalam suatu pertunjukan Ebeg secara sukarela.
Biasanya mereka akan ikut kesurupan dalam Babak Janturan. Kenapa disebut
Indhanger ?, jawabannya adalah karena mereka menggunakan Indhang yang
bukan berasal dari Kelompok Ebeg yang bersangkutan alias Indhang tak diundang.
Para Indhanger tidak bisa berdiri sendiri, umumnya mereka membentuk suatu
perkumpulan atau komunitas karena harus ada orang yang Njantur supaya bisa kesurupan dan menyembuhkan mereka nantinya
(biasanya Kelompok Ebeg yang bersangkutan tidak bertanggung jawab terhadap
Indhanger karena resiko ditanggung masing-masing). Selain sebagai penyemarak
pertunjukan Ebeg, Indhanger kadang juga dimanfaatkan oleh beberapa Kelompok
Ebeg sebagai penari cabutan.
Perkembangan terkini
Seorang gadis janturan dalam pementasan Ebeg Banyumasan.
Akibat perkembangan budaya
di Banyumas dan orentasi suatu seni pertunjukan juga yang dalam tahap awal
merupakan saranTeks tebala
ritual telah bergesear pada bisnis seni pertunjukan, pembenahan dalam Ebeg pun
segera dilakukan. Penataan pada Ebeg yang dapat meliputi bentuk iringan,
penghalusan gerak tari, kostum ataupun propertinya banyak dilakukan oleh
seniman Banyumas. Ebeg biasanya dipentaskan pada acara hajatan baik acara
khitanan maupun pernikahan. Selain itu pada awal Sura atau tahun baru Jawa,
Ebeg juga sering dipentaskan diberbagai daerah Banyumas, Cilacap, Kroya,
Kebumen, Purbalingga dan Banjarnegara. Masih ada beberapa perkampungan yang
masih sering mengadakan pertunjukan Ebeg di wilayah karisidenan Banyumas
seperti Banjarwaru, Adipala, Pesanggrahan, Bajing, Jepara, Somagede, Wangon,
Ajibarang, Sumpiuh, Padamara, Kebasen, Jatilawang, Binorong, Jetis, Sempor
Gombong, dan lain-lain.
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Ebeg
Analisis :
menurut saya pribadi
budaya ebeg ini sangat menarik karna saya sering melihat pertunjukan ebeg ini
saat saya masih sma di kebumen tepatnya di gombong dan banyak teman saya yg
menjadi bagian dari pertunjukan ebeg tersebut,
dan tidak dari semua pertunjukan ada bagian mendem nya atau kesurupan ya karna
itu tergantung dari permintaan yg mengadakan acara atau aturan daerah tersebut. Tp menurut saya bagian itu wajib
ada karena Kekuatan mistis memang menjadi daya tarik ebeg ini. Di kota – kota Kebudayaan
pop dan moderenisasi membuat kesenian ini menjadi tidak menarik lagi bagi
sebagian orang yang tinggal di kota besar maupun generasi muda yang sudah tidak
peduli dengan budaya nenek moyang. Tp saya masih bersyukur teman teman saya di
gombong masih melestarikan budaya ini sampai sekarang. Dan ya mungkin
orang-orang kota atau generasi muda harus menonnton pertunjukan ebeg ini jika
sedang traveling dan jika ada pertunjukan ebeg di daerah yg di sebut kan di
atas.